Panduan Brand Voice 101 untuk bisnis: cara menentukan gaya bahasa, tone, pilihan kata, dan aturan penulisan agar konsisten di semua channel marketing.
Pernah lihat brand yang di Instagram terkesan seru dan santai, tapi di website terasa kaku dan “dingin”? Atau di email terlalu formal, sedangkan di chat customer service terlalu bercanda? Ini biasanya terjadi karena brand belum punya brand voice yang jelas.
Brand voice adalah “cara bicara” brand—karakter komunikasi yang konsisten, apa pun channel-nya: Instagram, TikTok, website, email marketing, iklan, sampai customer service. Kalau brand voice rapi, audiens akan lebih cepat mengenali, percaya, dan merasa dekat.
Berikut panduan praktis untuk menentukan gaya bahasa yang konsisten tanpa bikin tim bingung.
1. Bedakan Dulu: Brand Voice vs Tone
Banyak orang mencampur dua hal ini:
- Brand Voice = karakter utama yang tidak berubah (misal: ramah, tegas, edukatif)
- Tone = penyesuaian situasi (misal: saat promo bisa lebih hype, saat komplain lebih empatik)
Contohnya:
- Voice: hangat dan profesional
- Tone:
- saat launching: excited dan optimis
- saat komplain: tenang, empatik, solutif
Kalau voice sudah jelas, tone tinggal menyesuaikan konteks.
2. Mulai dari “Siapa Brand Ini?” (Bukan dari Tren)
Cara paling mudah menentukan voice adalah membayangkan brand sebagai persona.
Tanyakan:
- kalau brand ini orang, dia seperti apa?
- cara bicaranya cepat atau pelan?
- lebih banyak bercanda atau lebih banyak menjelaskan?
- apakah dia memakai bahasa gaul atau bahasa netral?
Biar lebih kebayang, pilih 3–5 kata sifat, misalnya:
- friendly, clear, smart, humble
- bold, direct, modern, confident
- calm, warm, supportive, mindful
Kata sifat ini adalah fondasi semua copywriting.
3. Tentukan Target Audience dan “Bahasa Harian” Mereka
Voice yang bagus harus terasa “nyambung” dengan audiens. Maka, pahami:
- usia dan kebiasaan komunikasi mereka
- topik yang sensitif atau harus lebih hati-hati
- seberapa “serius” masalah yang mereka hadapi
- istilah yang mereka pakai sehari-hari
Tips praktis:
- kalau audiensmu pemula, gunakan bahasa yang lebih sederhana
- kalau audiensmu profesional, boleh lebih teknis tapi tetap jelas
- kalau audiensmu campuran, pakai bahasa netral dan minim slang ekstrem
4. Buat “Do & Don’t” yang Super Jelas
Ini bagian yang bikin konsistensi lebih mudah dipraktikkan tim.
Contoh format Do & Don’t:
DO (boleh/harus):
- gunakan kalimat pendek dan jelas
- panggil “kamu” untuk terasa dekat
- jelaskan manfaat sebelum fitur
- gunakan nada optimis dan solutif
DON’T (hindari):
- kalimat bertele-tele dan terlalu formal
- jargon yang tidak dijelaskan
- sarkasme atau humor yang berpotensi menyinggung
- clickbait berlebihan
Semakin konkret, semakin kecil kemungkinan voice “melenceng”.
5. Tetapkan Pilihan Kata (Vocabulary) dan Gaya Penulisan
Brand voice bukan hanya “kesan”, tapi juga soal detail.
Yang perlu kamu tetapkan:
- pakai “kamu” atau “Anda”?
- pakai “kami” atau menyebut brand dengan nama?
- sapaan pembuka: “Hai!” / “Halo!” / “Selamat datang”
- gaya CTA: “Yuk coba” vs “Daftar sekarang”
- penggunaan emoji: boleh atau tidak, dan seberapa sering
- format angka & istilah: “10%” vs “sepuluh persen”
Vocabulary yang konsisten bikin tulisan brand terasa “satu suara”.
6. Buat 3 Contoh Template untuk Semua Channel
Agar voice tidak cuma “teori”, buat contoh nyata.
Minimal punya template:
- caption sosial media (informasi + CTA)
- headline website (singkat tapi menjual)
- email marketing (subjek + opening + closing)
- (bonus) balasan customer service (ramah tapi tegas)
Dengan template ini, tim tinggal meniru struktur, bukan mulai dari nol setiap kali.
7. Uji Konsistensi dengan “Tes 5 Detik”
Cara cepat mengecek brand voice:
- baca satu caption IG, satu landing page, satu email
- tanya: “Kalau logo brand ditutup, orang masih bisa nebak ini brand yang sama nggak?”
Kalau jawabannya “nggak yakin”, berarti voice-mu masih belum solid atau guideline belum cukup jelas.
Kesimpulan
Brand voice yang konsisten membuat brand lebih mudah dikenali, lebih dipercaya, dan terasa lebih “hidup” di semua channel. Kuncinya adalah: bedakan voice vs tone, tentukan persona brand, pahami audiens, buat Do & Don’t, tetapkan vocabulary, lalu sediakan template real untuk tim.
Baca juga
- Strategi Kolaborasi antara Desainer & Copywriter dalam Membangun Brand
- Desain Interaktif untuk Kampanye Digital yang Lebih Engaging
